Ahlan wa Sahlan

Ahlan wa Sahlan Keu Ban Mandum Aneuk Nanggroe Ban Sigom Donya

Monday, December 7, 2009

Tunggu Aku 1 Juz Lagi

“Hallo…Assalamualaikum!" Akhirnya aku dapat giliran juga setelah mengantri berjam-jam dari jam 7 pagi. Cape deh..!
"Allow..tapa ni..?” suara bocah yang menyahut. Mmm..Si Adek.
“Ini siapa..?” kangen juga sama dia.
“Aku Bukan tapa-tapa…un..tukmuuu..!” Haha..ha, malah nyanyi!
"Dek..Ibu mana sayang… ini mbak Alyana, kasih handphonenya ama Ibu sayang..! Aku sudah sangat menghafal kebisaaannya yang akan merebut handphone, mengharuskan dirinya yang menjawab panggilan.
"Hallo ..Assalamu alaikum, Yana ya..?!"
"Iya..ini Ibu kan?! Gimana kabarnya Ibuku?"
"Alhamdulillah..semua baik-baik aja, kamu gimana kabarnya sayang..? Kapan pulangnya? Tahun ini sudah selesaikan…? Ibu sudah kangen nih…" Suara itu sungguh membuat aku ingin segara pulang ke tanah kelahiranku. Solo.




"Iya Bu, Yana juga kangen, alhamdulilah di sini baik-baik aja. Insyaallah Ibu doakan saja tahun ini bisa pulang, atau..aku daftar S2 dulu boleh Bu?" Walau ku tau jawabannya 'ga boleh' tapi ku tanya juga.

"Yah..mbok ya pulang dulu…! Nikah dulu, setelah itu mau sekolah lagi juga ga apa-apa, kamu ini gimana sih..? ga kepikiran apa?" Tuh kan! Itu lagi-itu lagi, yuuh..Ibu siapa juga yang mau nikah..ffiuhh!

"Alyana sayang…kakak-kakakmu udah pada nikah semua, kamu mau jadi perawan tua?? Ibu banyak dengar dari orang-orang, katanya banyak anak perempuan yang terlena dengan pendidikan, dan ga kepikiran untuk nikah. Akhirnya sendirian deh..!" Aduuh…Ibuku sayang Ibuku malang…jadi pengen ketawa aku mendengarkan kekhawatirannya ini.

"Ibu gimana sih..pendidikan kok dibilang 'terlena'? emangnya dunia maya? Yana Bukannya ga kepikirin sama sekali, tapi belom aja Buk, ntar juga datang waktunya kok Ibu. Don’t worry be happy Buk! Walau ku tahu Ibu tak paham.

"Sekarang gini aja deh Buk, ini Yana telpon mau minta doa, insyaallah mau ujian pertengahan Mei nanti. Doanya yang nderes ya Buk ya…! Soalnya ini ujian akhir, please ya Bu..!” Jengah juga aku mendengar support keluargaku tentang masalah ini.

"Ini Babamu mau ngomong..". deg! Baba oh Baba…orang yang paling kusegani sejagat raya setelah Allah dan Rasulnya, he..he begitulah kira-kira.

"Baba apa kabar?"
"Sehat..sehat, kamu bagaimana?" Staycool…suara bassnya membuatku ga bisa banyak berkutik.
"Alhamdulillah baik Ba..!"
"Tahun depan kamu pulang kan? Jadi langsung pulang aja, kalau mau S2 di Mesir boleh, tapi nanti kita bicarakan di rumah. Oh ya! Kebetulan anak temen Baba ada yang baru pulang dari Tunisia, sudah selesai S2 di sana." Hah? Aku menarik leherku beberapa centi ke belakang. Maksudnya..??

"Trus…?" Terpaksa aku menggigit bibir sembari alis yang terbentuk piramid, serasa tak kuasa aku mendengarkan kelanjutannya.

"Yah..kalau kamunya belom punya calon, kan bisa Baba jodohkan sama anak itu. Udah 30 juz lho!"

Ampuuun.. apa-apaan sih? Mau 40 juz juga ga ngaruh. Kudengar suara cekikikan kakak-kakakku di seberang sana. Ih dasar! Dikerjain lagi deh! Ingin rasanya kututup telpon ini. Tapi ya..mau gimana lagi, jarang- jarang aku menelpon.

“Hallo Cinta…! Pasti Mbak Joanna. Terbayangku akan gurauannya.
“Heh neng..kacian deh lu! Udah terima aja, ngapa?!” Lagian kamu tuh ga ada yang mau ato kamunya yang milih-milih sih?” masa’ sih orang cantik kayak adekku ini ga ada yang minat..?” Yah, seperti biasa, dia pasti akan menggodaku.

“Astaghfirullah…bête deh gueee..! Apa coba? Emangnya tamat S1 tuh udah tua banget ya??” sungutku. Mendingan segera kuakhiri percakapan ini. Sebelum aku pingsan gara-gara kesal.

Hiruk-pikuk suasana jalan raya membuatku ingin cepat-cepat sampai di istanaku. Penat! Sungguh hari ini benar-benar penat. Hadir muhadharah di saat–saat ujian di ambang pintu seperti ini adalah kegemaran para pelajar asing. Hampir rata-rata melakukan taktik ini, termasuk aku. Tapi itu dulu, ketika aku belum menganggap penting muhadharah. Bulan Mei pun seakan berlari mendekati pertengahannya.

Dan hari ini aku menghadiri tiga mata kuliah sekaligus, sampai sore boo…! Dan itu lumrah kulakoni sejak aku mendiami Asrama Malikah, yang terletak di daerah Tahrier. Dan itu lumayan jauh dari kampus. Karena aku akan merasa sangat merugi jika pergiku tanpa manfaat. Itulah aku sekarang.

Akhirnya bus yang kutunggu muncul juga. Yes! Hari ini nasib berpihak padaku, aku dapat tempat duduk. Assoy..sambil menikmati hamparan warna-warni makhluk hidup bernama ‘bunga’ di musim semi. “Ala ganbak ya rais!” Ada yang sudah sampai tujuan ternyata. Sesaat pemandangan yang sedari tadi berjalan terhenti. Tepat di depanku berdiri dengan anggunnya mesjid Ar-Rahmah, tidak ketinggalan taman kecil penuh rona violet yang mekar serempak sebagai pelengkap riasannya, yang membuat mesjid ini begitu indah. But.. wait a moment! Aku melihat sosok yang pernah kutahu, bahkan kukenal sedang bersungguh membaca Al-Quran, emm..seperti manghafal. Walau aku tak pasti. Hmm..mungkin hanya mirip saja. Karena sosok itu sudah dalam bilangan tahun tak terlihat olehku. Kurasa beliau sudah balik ke Indonesia.
Dan bus pun kembali melaju menjauhkan pandanganku pada taman mesjid dan yang ada di seberang taman itu. Ups! Sory ya Allah..kali ini Yana silap. He..he.. walau ku tau Allah Maha Tahu.

***

“Alyana… masih belom tido lagi?” Azizah, come from Singapura. Sahabatku semenjak aku tinggal di asrama Malikah. Teman-teman yang lain Bukannya tidak ada, tapi karena dominan dari luar Asia membuatku hanya berteman sekedar saja. Pegal juga lidahku harus berbicara bahasa Arab selalu.
“Hai what’s wrong? Macam ada gunung ja kat pundak you tuh…” Kutarik badanku untuk sedikit tegak menghadapnya. Sambil meletakkan kembali foto keluargaku yang sedari tadi kupegang.

“Your mom suruh you kawen tak?” Ntah untuk apa kutanyakan hal ini padanya.

“What??!” Azizah mengeluarkan ekspresi tak percaya dengan pendengarannya.

“Aha…I knew sekaranglah…your mom support you kawen ya?! Its ok baby” Aku hanya mengangkat alisku.

“Hai disuroh kawen..kawen je lah..!apa yang susah sangat? yang you risau sangat ni apa pasal? Bukankah you ni comel, pretty..pendidikan ok, smart pula, apa lagi?” Daya godanya..Ga penting!

“Yeee…. Menurut loh? Please deh! You ingatkan kawen tuh tak susah ke? Boleh ke kita nak kawen dengan sesiapa je? Tak boleh ke kite nak taruh harapan sikit pada orang yang benar-benar kita suka? Or something like that…?” Yah, inilah yang ingin kusampaikan pada mereka—keturunan keluargaku—yang menaruh perhatian besar tentang pernikahan. Dan terbiasa dengan acara nikah muda. Dan anti dengan julukan perawan tua. Nikah itu tidak segampang membalikkan telapak tangan uey!, tinggal simsalabim saja. Kita lagi cari orang yang tepat di hati ni..! Azizah menatapku penuh misterius, sambil mengerutkan kening.

“Agaknya you rindukan seseorang yang bergelar Ustazd Aceh, satu-satunya lelaki yang you pernah ceritakan pada I, masa I tanya perception you tentang lelaki” Aku meliriknya tanpa ekpresi.

Azizah meninggalkanku dan beranjak ke kamarnya sambil senyum-senyum... ffiuh...bodo ah! Mendingam konsentrasi dengan ujianku. Ini akhir, target harus tepat sasaran.

Aku kembali mengadu..
Bab demi bab kehidupan Kau tuliskan untukku
Dan telah aku lakoni..
Aku memalu..
Karena bab kali ini tidaklah besar
Mungkin hanya sebesar serpihan debu,
Dibandingkan fase hilangku dari naungan-Mu
Namun tetaplah Engkau tempat para nyawa berkeluh..
Tolonglah aku Rabbi!
Tidak mampu aku mendustai hati..
Rasa cinta setelah cintaku pada-Mu seolah sudah hadir
Aku hanya seonggok kayu kering
Yang selalu menanti uluran kasih-Mu
Agar Engkau bimbing aku ke jalan-Mu

***
Kusudahi sujud malamku dengan doa-doa pertolongan, tak lupa doa mohon kemudahan dalam ujian, untuk kemudian berkutat pada diktat yang akan kutempuri besok. Untuk mumtaz aku urung. Sekedar mempertahankan jayyid saja sudah cukup. Better than down! Tapi tetap saja dengan perasaan yang harap-harap cemas. Semoga! Tawakkal yang kusisakan sebagai persembahan hamba yang yakin akan takdir Ilahi, yang telah dituliskan jauh sebelum zaman azali.

***
Bus kesayanganku datang tepat waktu. Tak jauh berlaju bus kembali berhenti, ada penumpang baru. Saat kugeser sedikit tempatku, ups! Mata kami beradu aku terpaku, satu, dua, tiga detik, stop Alyana! Astaghfirullah…sory ya Allah..kali ga sadar. Cepat-cepat aku membuang pandangan keluar jendela bus. Sambil menatap benda-benda yang bergerak menjauh ke belakang. Setan mulai berbisik; “Lirik saja sedikit, kalau penasaran! Untuk memastikan siapa? Sekejap saja..! Mungkin Ustazd Aceh itu.” Ga perlu Yana sayang..staycool aja..!

“Ujian?” Ala maak! Kaget benar aku mendengar suara itu.
“Hah? Oh! iya” Aku gugup otomatis.
“Hadits ya?!” Tanyanya lagi setelah sedikit melirik ke buku yang sedang kupegang.
“Iya!” Bingung.
“Tahun terakhir ni?” Dia belum selesai menyapa rupanya.
“I..iya.”
“Maan najah ya..!” Masih dalam keadaan menunduk.
“Iya”
“Saya duluan..”
“Iya” Yuuh..iya, iya, iya doank! Ta’bir dong Alyana, takallami…aku juga bingung, kenapa aku bersikap begini? Ada-ada aja. Baru ditanya gitu udah gugupnya minta ampun. Tapi be-te-we kok beliau ngeh aku tahun akhir? Akh, ga penting!

Tapi kok masih kenal? Bisa jadi. Karena memang aku dulu adalah cewek terheboh lagi cuek di antara konco-koncoku. Dan kami adalah consumer Syatiby Center alias murid Syatiby sekaligus pengurus WIHDAH. Dan Ustazd Aceh itu pengajar di Syatiby Center. So, frekuensi pertemuannya seringlah. Ustazd tak pernah menatap kami kecuali sesekali ketika mangajar, ghad al bashrnya euy..! Aku yang paling menghebohkan diri, selaku fans beratnya. Sampai anak-anak hafal tabiatku yang mewajibkan diri membuatkan minum kalau pembimbingnya beliau. Gokil banget waktu itu. Sungguh malu jika mengingat masa jahiliyahku. Karena Tuhanku belum menyapa kala itu. Pernah terjadi hal paling memalukan dan merasa tak sedap hati.

“Heh..Yan calon suami idaman loe, kaya’ gimana sih tipenya?” Lila menanyakan hal yang tak minat untuk kubahas.
“Masih anak kecil, ngapain nanya gituan?” Aku sewot.
“Kan boleh aja Yan, buat persiapan?” Dara ikutan nimbrung.
“Ok, ehem..yang biasa aja!” semua yang dengar mengerutkan kening. Tak ada jawaban, karena memang tak ada dalam fikiran.
“Iya..biasa gimana Mbak? Biasa pegang duit, biasa jadi bos, atau biasa kerja rodi?” Mereka benar-benar tak puas.
“Mm...ga gimana-gimana, ya..biasa aja…yang biasa hafal Al-Quran mungkin. Atau bisa ngasih gue mahar 30 juz hafalan Al-Quran aja, udah!” Jawabku sambil tertawa lepas.

“HAHA..HA, sumpe loe?! Muke loe jauu..! Emang cukup?” Semua ikutan tertawa.
“Ya..ya beserta hadiah-hadiah lainnya, paling ga hadiah rumah dan mobil ajalah…mahar tetap 30 juz aja, haha..ha!” Tawa kembali bergelak. Seketika semua diam, seakan malaikat yang lewat. Hah, Ustazd Aceh! Sekilas Ustazd melihat ke arah kami. Mati gue, beliau dengar ga ya omongan kami tadi? Malu kalau beliau mendengar. Mana kami tertawa ngakak lagi!

Orang seperti aku ingin suami 30 juz? Lelucon! Sebenarnya Ustazd idolaku ini adalah tipe yang kusuka. Bersahaja dalam karismatiknya, dewasa, dan..manis. Ah, terlalu tidak mungkin Ustazd Aceh itu akan terfikir untuk menyukai gadis luar Aceh, begitu yang ku dengar dari teman-temanku. Lagian aku juga mungkin hanya terobsesi saja waktu itu. Atau hanya sekedar ngefans, atau perasaan girang sesaat. Walau aku tau bahwa kemungkinan yang kubuat-buat ini adalah bohong. Jelas-jelas aku tak begitu saja lupa tentang beliau yang padahal tak pernah ada moment penting selain belajar-mengajar. Ntahlah, aku tak berani meraba lebih jauh lagi.

(Ya Allah sudahkah Engkau maafkan kekhilafanku di masa silam. Dimana aku belum begitu peduli pada-Mu. Sampai akhirnya aku ditempatkan pada taraf kedewasaan untuk kemudian mengais cinta dan merasa betapa indahnya bila dekat dengan-Mu. Tetaplah bersamaku, karena aku merasa masih rapuh. Dan kembali melemah adalah keniscayaanku. Maka naungilah aku dengan sayang-Mu).

***
Segala yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Hari ini adalah hari wisuda para najihin dan najihaat. Dan aku dalam kesyukuran yang tak terperi. Allah megizinkanku untuk pulang ke tanah air tahun ini. Dengan predikat jayyid jiddan. Alhamdulillah. “Tahniah Alyana..” Azizah memberiku selamat sambil tersenyum tulus.

“Ya..sama-sama, selamat juga cinta..!” Terasa ada yang mengharu-biru. Inilah saat terakhir aku dan Azizah bersama, setelah ukhwah terjalin begitu erat. Dia telah banyak membimbingku dan aku pun banyak belajar darinya tentang dunia muslimah sejati. Hingga akhirnya aku menjadi lebih baik. Tiba-tiba Kak Aji—se-almamaterku—menghampiri.

“Alyana, selamat ya!”
“Iya, syukran Kak.” Aku hanya tersenyum.
“Maaf sebelumnya, ini ada titipan dari dari temenku. Namanya Rafli” Kak Aji memberiku lipatan kertas. Berikut dengan penjelasannya, karena dia tahu aku tidak suka perihal seperti ini.

”Jangan marah dulu non! Dia teman aku, kita sama-sama S2 di Al-Azhar. Dia minta maaf, kalau kamunya ga suka. Tapi menurut aku surat lebih aslam daripada face to face! Iya kan?!” Panjang deh! Siapa juga yang marah.

“Ya..ya makasih ya!” Dan Kak Aji pun pergi. Sesudah melambaikan tangan pada empunya surat. Ustazd Aceh.

“Dengan tetap berlindung pada Allah… yang di tangan-Nyalah nasib manusia ada. Sebelum dan sesudahnya saya memohon maaf atas kelancangan saya mengirimi Alyana kertas ini. Lama saya mencari arti rasa yang ada. Dan akhirnya berkat hidayah Allah yang Maha Membolak-balikkan hati; saya berkeputusan untuk mencoba meraba. Dengan sedikit malu saya katakan bahwa… teringin saya meminang Alyana menjadi bidadari saya. Akan tetapi tipe suami yang Alyana idamkan belum selesai saya penuhi, maukah Yana menunggu saya 1 juz lagi?"

“Hah!! Mau..mau..mauuu…mau banget! Iya aku mau menunggu, jangankan 1 juz lagi, 29 juz pun kan kutunggu!” Hatiku berteriak tak karuan, tuk ungkapkan kesediaan. Tuhan…ikat kami dalam ridha-Mu.

Oleh; Bunga Alba*
Read More......

Rintihan Keinsafan

Ku sudah menjalani kehidupan yang gersang
tanpa ada setetes embun keinsafan dalam hati
Lelah...
kutiada sadar telah menjalani kehidupan kelam
Yang tak pernah tersentuh oleh hidayah-Mu

Diriku telah terbelenggu oleh gemerlap dunia,
Tanpa kusadari telah menutupi hati dari cahaya-Mu
Rayuan fatamorgana yang tampak indah…
Hanyalah keangkuhan nafsu yang tertawa senang,
Mengelabui akal dan nurani insani,


lelah…
Kucoba membuka tirai hitam di dalam kalbu,
Mencari terpaan cahaya kebenaran
Kucoba mendengar bisikan nurani demi menggapai ridha-Mu.

Ya Allah...
Masihkah Engkau sedia menilikku kembali..?
Menerima hamba dengan segala cela dan nista…
Keangkuhanku telah membinasakan kesadaran jiwa
Aku terlampau lemah membiarkan tipu rayu syaitan bersemi
Tumbuh menjadi ilalang tanpa faedah…

Kini kucoba sedikit menguak keberanianku
Untuk mulai terseok-seok menggapai ampunan-Mu
Bersama tumpukan dosaku yang tak terbilang
Aku mencoba mencari mutiara-mutiara iman
Yang telah ternodai lumpur hitam dunia di hatiku
Karna ku yakin Engkau Sang Pemilik samudra ampunan untuk hambaMu

Oleh: Al Asad

Read More......

SEUNTAI TINTA KESTURI


Inilah seuntai tinta kesturi
Ku beri nama
Lampuan El-Asyi
Setelah puji kehadirat Ilahi Rabbi,
Selawat dan salam junjungan Nabi...
Wahai Rakan yang berbudi
Jadikan ini penggerak diri
Dalam menjalin silaturrahim...

Amma Ba'du aku mulai...
Sekalung salam terasa tak terdengar lagi
Antar bumi para Shahbati
Inilah pemberi inspirasi hati
Antar kita wahai Akhwati
Dari hati menuju Ridha Ilahi...





Wahai Ukhti pemilik negeri
Rumah kita adalah hati,
Berteduh, berkiblat, di sanubari
Ianya kaca taman Firdausi
Semoga Tuhan usapkan ia
Sebening cahaya di atas cahaya...

Wahai Tuan rakan, para pembaca
Bukanlah hamba seorang pujangga
Marilah berkarya untuk bangsa
Membela hak-hak kita
Walau dengan setetes tinta...

Tak cakap hamba dalam beramal,
Tak cakap juga Ulumul Qur'an
Ilmu-ilmu Tuan wahai rakan pembaca
Kiranya lebih sejagat dunia
Mohon Tuan ajarkan do'a
Walau satu ayat dibalik hijab...

Bukanlah hamba niatkan sesuatu,
Selagi masih berumur-umur
Semoga berazzam tak kenal waktu
Demi berburu secuil ilmu
Datang pagi-petang ke segala penjuru

Inilah haluan sedemikian laku,
Tak lupa salah banyak hamba berlaku,
Mohon Tuan relakan Tuhan
Ampuni salah hamba seorang hamba
Serta Do'akan hamba
Sebaik-baik prasangka...

Dita_elsayeda
Read More......

HAKIKAT IBADAH

Kita manusia terdiri dari dua unsur yang Allah SWT. ciptakan, yaitu ruh dan jasad. Ruh tarikannya lebih dekat ke langit, sedangkan jasad tarikannya lebih dekat ke bumi. Logikanya, semakin dekat tarikan manusia ke bumi, maka tarikan ke langit akan semakin jauh. Sebaliknya, semakin dekat tarikan ke langit maka ke bumi semakin jauh.

Unsur ruh sebenarnya lebih berpengaruh dari pada unsur jasad. Coba anda bayangkan, orang yang memiliki spiritualitas yang membaja akan berani melangkah ke medan jihad walau badannya kurus dan tidak kekar.


Sebaliknya tidak sedikit orang yang bertubuh kekar, tapi karena gersang dari nilai spiritualitas, kalau diminta keluar meronda di malam hari saja, akan merasa takut, apalagi diajak ke medan jihad. Ruh telah lebih dulu ada sebelum jasad. Ketika Allah mengambil sumpah kepada seluruh arwah: "Bukankah Aku Tuhan kamu sekalian?" Semua menjawab: "Benar wahai Tuhan kami"(QS. Al-A’raf: 172). Dimanakah jasad kita di waktu itu? Kemudian setelah kita mati, jasad kita rusak dimakan tanah, bukankah ruh kita tetap utuh, dipelihara disisi Allah? Benar.. aspek rohani lebih kuat dari aspek jasmani.

Kemudian hati, ia adalah sang raja, muharrik seluruh kegiatan ruh dan jasad, ibarat danau yang airnya berasal dari berbagai luapan anak-anak sungai. Bila air limpahan sungai itu bersih, maka bersih danau merupakan keniscayaan. Dan hati yang bersih adalah tempat bermuaranya ilham dari Allah SWT., sehingga jiwa terpimpin dengan baik dan terus mengajak kepada kebaikan.

Ibadah dan menjadi istikhlaf (menjadi khalifah) adalah dua tugas yang kita emban di atas muka bumi ini. Ibadah adalah inti utama, lihatlah bagaimana Allah membimbing Rasulullah SAW. sebelum menurunkan wahyu kepadanya, Allah perintahkan Rasulullah untuk membekali diri dengan ibadah yang kuat, setiap malam beliau diperintahkan untuk qiyamullail baik di dua pertiga malam, setengah atau sepertiganya, dan juga diperintahkan untuk banyak membaca Al-Qur’an (Al-Muzzammil: 1-20). Hal ini karena, ibadah adalah sumber tenaga yang terus mengalir dari Allah SWT., sehingga menjadikan kita sanggup memikul segala bentuk rintangan dan tantangan sebagai khalifah. Makanya, orang yang tidak punya hubungan vertikal yang lancar kepada Allah, rusaknya lebih banyak dari baiknya, karena dia tidak dipimpin oleh Allah SWT. dalam setiap gerak-geriknya.

Ibadah biasanya didefinisikan dengan: Segala perbuatan dan perkataan yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa hal-hal yang dzahir seperti shalat, maupun yang batin seperti iman, tawakkal dan takut kepada Allah SWT.. Hakikat ibadah dalam Islam ada dua, yaitu Al-Khudhu' al-Kamil (tunduk dan berserah diri secara sempurna) dan Al-Mahabbah Al-Tāmah (cinta yang sangat mendalam). Keduanya bergandengan, harus menyatu. Khudhu'nya Bilal bin Rabah kepada Umayyah bin Khalaf tidak dianggap ibadah, karena tidak diiringi dengan mahabbah, sebagaimana cintanya kita kepada kedua orang tua, anak dan istri juga tidak dianggap ibadah karena tidak diiringi dengan al-khudhu'.

Dengan demikian, bila kita melakukan shalat, namun hati kita tidak tunduk dan membuahkan cinta kepada-Nya, berarti kita belum beribadah sebagaimana mestinya. Berapa banyak orang yang beribadah, bahkan bersama dalam satu shaf , gerak-gerik mereka sama, tapi antara satu dengan yang lain ibarat tanah yang datar dengan gunung yang tinggi nan gagah. Hal ini karena ibadah mereka dilakukan bukan hanya dengan fisik, tapi juga dengan hati yang khusyu', khudhu' dan rindu kepada sang Khalik. Jiwa mereka di bumi, tapi ruh mereka jauh tinggi di atas langit.

Kemudian manusia dalam beribadah kepada Allah ada tiga golongan: Pertama: Beribadah kepada Allah dengan terpaksa. Orang seperti ini tidak ada bedanya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan orang kafir sekalipun tetap mengaku mereka bertuhan. Kedua: Beribadah kepada Allah karena taklif (dibebankan), inipun tidak ada bedanya antara ibadah orang munafiq dan beriman. Orang munafiq melakukan shalat agar mereka tidak dihukum bunuh, baik karena malas atau merasa tidak wajib. Ketiga: Ibadah karena kebutuhan, merasa rindu dan cinta untuk terus beribadah. Orang yang beribadah seperti ini merasa ibadah adalah proses mengembalikan stamina ruhiyahnya, karena itu ia butuh. Dan inilah ibadah yang sebenarnya. Ibadah inilah yang melahirkan ketenangan, kebahagiaan, cahaya diwajah dan hati, kelapangan rezeki, dan keberkatan.

Biasanya ibadah yang benar itu bermuara dari keyakinan dan i'tikad yang benar. Karena kalau kita tahu Allah SWT. selalu mengintai kita, mengetahui semua yang terlintas dalam hati, kita akan khusyu' dan tawadhu' dalam ibadah kita. Dan dari ibadah yang benar biasanya akan melahirkan akhlak yang benar. Cobalah lihat ibadah-ibadah yang difardhukan Allah SWT., semuanya untuk membentuk kepribadian yang indah. Shalat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, zakat untuk menghilangkan sifat kikir, mensucikan diri dan harta, puasa menjadi tameng bagi hawa nafsu yang liar dan haji menjadikan kita kembali kepada fitrah suci seperti bayi yang baru dilahirkan.

Ibadah yang benar akan mampu membentuk kepribadian rabbani yang teraplikasi dalam tingkah laku yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.. Dalam sebuah riwayat diceritakan: Ada seorang wanita pada masa Rasulullah Saw. yang rajin qiyam di malam hari dan puasa di siangnya, tapi punya kebiasaan menyakiti tetangganya. Rasullah SAW. bersabda: Dia kelak ke neraka. Demikian pula riwayat yang mengatakan dia menyakiti seekor kucing, tidak diberi makan hingga mati kelaparan. Kenapa bisa terjadi? Karena ibadah yang dia lakukan hanya sebatas upacara rutin. Tujuan dan hakikat ibadah belum dia capai.

Demikian pula dengan orang yang shalat, tekun berpuasa, rajin baca Al-Qur’an, namun dia gemar bermaksiat, berpacaran, buang-buang waktu percuma di kafe, internet, telepon dan lain-lainnya. Kalau orang ini melakukan dosa-dosa tersebut tanpa ia sadari, kemudian menyesal dan menyadari dirinya bersalah, mereka inilah orang-orang yang sedang bermujahadah. Kalau benar mujahadahnya, mereka akan dibantu Allah (Al-Ankabut: 69). Namun bila dosa-dosa ini dia lakukan dengan keingkaran, bahkan menganggap halal dan tidak pernah merasa tertekan batin, ketahuilah kiranya inilah orang-orang yang telah tertutup hatinya, ibadah yang dia lakukan boleh jadi bukan karena Allah. Orang ini tersesat jalan, belum sampai ketujuan ibadah, masih samar akan makna dan hakikat ibadah. Orang seperti ini kalau tidak cepat taubat, dan berguru kepada orang-orang yang shaleh, ditakutkan akan suul khatimah. "Sesungguhnya seorang hamba melakukan amal ahli syurga, namun dia telah tertulis kelak ke neraka, lalu diapun melakukan amal ahli neraka maka kelak dia akan masuk ke dalam neraka. Dan seorang hamba melakukan amal ahli neraka, namun dia telah tertulis kelak akan ke surga, maka diapun melakukan amal ahli surga dan kelak akan masuk kedalamnya." (Al-Hadis).

Ibadah tidak diukur dari banyaknya, karena kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadahnya kaum Khawarij, ibadah mereka sepanjang malam, berpuasa sepanjang tahun. Namun, ternyata iman mereka hanya dimulut, bacaan Al-Qur’an mereka tidak lebih hanya di tenggorokan mereka, iman mereka tidak sampai ke hati. Allah SWT. tidak memerintahkan kita beribadah kecuali dalam kadar kesanggupan. Allah tidak bosan kecuali kita bosan. Rasulullah SAW. juga melarang sahabat beribadah yang berlebihan, hendaknya diisi di sebagian waktu pagi, tengah siang, dan di waktu malam.

Ibadah lebih diukur dari kualitasnya. Lihatlah Rasulullah SAW. Qiyam, kadang hanya 2 rakaat semalam, tapi dalam satu rakaat membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran hingga ke An-Nisa' sehingga Siti Aisyah berkata: jangan kau tanya bagaimana bagusnya shalat Rasulullah.

Abu Bakar bukanlah seorang sahabat yang paling dibanggakan ibadahnya dibandingkan dengan sahabat yang lain, tapi kualitas ibadah yang diiringi dengan mahabbah, tadzallul, dan inkisar al-qalb yang menjadikan beliau paling berprestasi di kalangan sahabat. Sekiranya iman seluruh umat ini diletakkan dalam satu tapak neraca, kemudian satu neraca lagi diisi dengan iman Abu bakar. Niscaya iman Abu Bakar lebih berat.

Ya Allah, bantulah kami memperbaiki kualitas ibadah kami, ajarkan kami untuk mengetahui hakikat makna ibadah, agar kami menjadi hamba-hamba yang bertaqwa, yang hanya dari mereka Engkau terima ibadah. Ampunilah segala kesalahan dan dosa kami, kala badan yang kelihatannya beribadah, namun hati kami tidak tunduk dan merasa rendah di depan-Mu. Ya Allah terimalah doa kami, sebelum kesempatan kami menjadi tiada lagi. Amin…


Oleh; Abu Muhammad Muadz Jailani, Lc.*

*Penulis Mahasiswa S2 Fak. Syari’ah wal Qanun, Jur. Fiqih Muqaranah, Universitas Al-Azhar, Kairo.


Read More......

Sunday, December 6, 2009

El-Asyi Lintas Batas

Menjelang usia dewasa, 18 tahun dan telah melangkah 100 langkah, sungguh sebuah prestasi yang layak dibanggakan. Kalau tidak salah el-Asyi termasuk atau malah buletin pertama yang dikeluarkan oleh kekeluargaan di Kairo. Artinya dari segi daya tahan melawan zaman sudah terbukti tangguh, dari segi menghasilkan produk boleh diancung jempol, sebagai media penyatu penuntut ilmu dari Negeri Serambi Makkah ampuh adanya. Ajang kreasi, asah bakat, brain storming memang itulah asas asal-muasal.


Maaf, bila dalam sepatah dua kata ini, hamba banyak menggunakan kata “saya.” Itulah penyakit orang yang sudah melewati satu jalan setapak, merasa lebih tua serta banyak makan full dan takmiah bil bait.

Tercatat rapi dalam memorial kepala saya, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di antara gempuran lalat musin panas nan amat ganas, saya beserta Tgk. Iqbal Nyak Uma, Tgk. Mutiara Fahmi dan Ustazah Marhamah Saleh menerima tongkat estafet el-Asyi. Gegap gempita rasanya masa itu, penuh semangat heroik dan patriotik. Perlu dicatat; Anggota KMA tidak lebih dari 20 orang saat itu. Edisi terakhir yang kami terima masih berupa lebaran foto copy diketik dengan mesin tik manual yang tentunya saat team redaksi kerja, tetangga sebelah tidak bisa tidur.

Namun demikian, semangat pendahulu antara lain Tgk. Hamid Usman, Tgk. Fachrul Ghazi dan para senior lain mengekpresikan semangat juang menggebu-gebu lewat sebuah mesin tik manual. Merekalah para pendiri el-Asyi sekaligus bara api semangat yang tidak pernah padam. Saya tidak melihat selembar kertas fotocopy yang disebarkan ke tangan-tangan anggota, tapi sebuah ekpresi kemauan, kerja keras serta semangat persatuan sesama pemuda dari Tanah Rencong.

Ketika kami mulai menjalankan roda el-Asyi yang sebenarnya penuh tantangan serta rintangan dengan segala keterbatasan, tapi ruh persatuan dan persaudaraan membuat segala sesuatu terasa ringan. Disaat bersamaan KMA juga menggagas Kursus Komputer (SCC Seulawah Computer Course), dengan tidak bermaksud meninggikan bahu; KMA adalah pionir dalam memperkenalkan komputer kepada Mahasiswa Indonesia Kairo dan sejarah tidak bisa menghapus kenyataan tersebut.

Sehingga keberadaan SCC dan el-Asyi dalam tubuh KMA seperti dua kaki yang mampu menjelajahi rute peradaban. Antara kedua elemen tersebut mampu bekerja sama, saling mendukung untuk mengangkat eksistensi KMA di kalangan Mahasiswa Kairo serta memberi kontribusi kepada penuntut dari negeri-negeri Melayu. Kemudian hasil kerjasama tersebut lahirlah sebuah karya besar "Panduan ke Mesir dan Al-Azhar" yang saya yakini sampai sekarang belum ada yang bisa mengumpulkan data serta gaya penulisan seperti wujud dalam Panduan ke Mesir dan Al-Azhar. Kalaupun ada buku-buku panduan dari organisasi lain, dengan tanpa rasa malu mengjiplak data karya Mahasiswa Aceh Kairo. Mereka yang telah memberi jasa besar untuk karya agung itu antara lain; Tgk. Lukmanul Hakim, Tgk. Fachrul Ghazi, Tgk. Masykur Abdullah, Tgk. Taqiuddin atau lebih dikenal Abu Taqi, Tgk. Ahmad Faisal, Ustazah Nilam Sari dan Ustazah Syarifah Rusydah serta anggota KMA lainnya.

Kemudian dalam menghadapi masa-masa krisis baik itu berkaitan dengan gejolak politik di Tanah Rencong maupun krisis ekonomi menjelang abad milenium, el-Asyi telah menunjukan peran aktif dalam menjembatani komunikasi antar anggota dan paling esential dalam memberi sumbangan ide untuk mengatasi krisis, baik hanya sekedar penghibur lara, maupun ide-ide perjuangan dalam menghadapi dan menyelesaikan krisis tersebut.

Berdasarkan pengalaman yang sudah pernah dilewati beserta dengan suka- duka serta karya, maka el-Asyi sebagai simbol media komunikasi Mahasiswa dan Pelajar Aceh di Bumi Para Nabi, selayaknya terus memompa semangat persatuan sesama penuntut ilmu dari Tanah Rencong. Dan juga menjadi motor penggerak untuk menjadi roda lintas batas, yaitu segala sesuatu yang dianggap sulit, tidak bisa, kekurangan dana, tenaga, fasilitas dan segala keterbatasan lainnya. Dalam sejarah el-Asyi yang dimulai dengan serba kekurangan, telah memberikan kontribusi positif untuk mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Kairo. Apatah lagi saat ini dengan dukungan teknologi nan semakin canggih, fasilitas hampir memadai, tenaga manusia sudah melimpah ruah, maka dengan semangat seratus edisi ciptakanlah gebrakan-gebrakan besar yang positif lagi bersejarah.

Kita di Aceh pun sudah ada IKAT (Ikatan Keluarga Alumnus Timur Tengah), kini sedang mengatur langkah untuk membangun sebuah ‘Keberadaan’ eksistensi. Hari ini, kami baru bisa mengatur langkah, mungkin setelah kawan-kawan kembali dari Mesir baru ‘Keberadaan ‘ itu wujud. Oleh karena itu, melalui el-Asyi online ( I wish), kita bisa membangun komunikasi dua arah dan saling mendukung. Dan sesungguhnya di Mesir tempat latihan, di Aceh adalah medan juang, bila dirasakan latihan sudah memadai segeralah kembali ke Tanah Rencong.


Oleh; Teuku Azhar Ibrahim, Lc.*

Penulis: Mantan pemred El Asyi, Senior Human Resource Officer pada sebuah NGO Asing di Banda Aceh dan Kepala Bidang Ekonomi IKAT.

Read More......

Sanah Hilwah ya el-Asyi

Sabtu malam, 14 Maret lalu, telepon selulerku berdering keras. Sebuah nomor asing muncul di layar. “Mungkin ini nomor sesat,” pikirku dalam hati. Biasanya aku paling malas menerima telepon yang enggak jelas, tapi kali ini langsung kuangkat.

“Aalu..!” kataku dengan eksen yang sedikit dimesirkan, karena aku yakin biasanya yang sering salah nomor mesti orang Arab badui.
“Assalamu’alaikum ustaz..” ujar sebuah suara di ujung sana.
“Wa’alaikum salam…, siapa ya?” ujarku.
“Saya Hilal ustaz, dari buletin el-Asyi. Saya ingin membicarakan masalah persiapan ulang tahun el-Asyi yang ke delapan belas dan penerbitan edisi yang ke seratus….”


“El-Asyi..!, delapan belas tahun..!!, edisi ke seratus...!!!” pikirku dalam hati. Rasanya tidak dapat aku mempercayai kata-kata itu. Musy ma’uul...

Kenanganku pun terus melayang ke suatu musim dingin sekitar awal tahun 1992, tepatnya di sebuah syaqqah di Jalan Imam Hasan Makmun, Hay Tsamin —depan Nadi Ahly sekarang— “Rumoh Ujong,” begitu kami memanggilnya dulu. Karena letaknya di paling ujung jalan, tidak ada apapun lagi setelahnya kecuali padang pasir (bak cerapei weuk Sen, bak jen toh aneuk).

Rumoh Ujong adalah sebuah rumah pinjaman Syaikh Abdul Ghani Asyi kepada penuntut-penuntut ilmu asal Aceh di negeri Kinanah ini. Di sana aku berkumpul dengan sekitar duapuluhan anggota KMA lainnya. Semuanya sibuk mempersiapkan sebuah hajatan besar, merayakan ulang tahun buletin el-Asyi yang pertama. Ibarat bayi yang baru genap berumur satu tahun, maka semua anggota keluarga menyayanginya.

Semua turut aktif membantu. Kak Syarifah Rif’ah, Rusydah, Nilam Sari, semuanya telah hadir sejak pagi untuk menunjukkan keahlian masing dalam memasak. Tgk. Hamid, Tgk. Fachrul dan Tgk. Masykur pun sibuk mempersiapkan berbagai acara yang akan ditampilkan, Tgk. Azman selaku ketua KMA memantau semuanya untuk memastikan acara bisa berjalan sukses. Sementara itu kami para pion, selalu stanby, siap selalu mendampingi para senior untuk melaksanakan berbagai macam tugas, dari belanja (yang berarti harus siap turun ke medan juang; jalan kaki melintas padang sabana; menenteng barang-barang; hingga bersiap dengan batu ditangan, sebagai persiapan kalau-kalau dikejar anjing Arab pungo), hingga tugas-tugas mulia dan rutin lain yang sudah pasti menanti, seperti cuci piring dan belangong di akhir setiap acara.

Semua itu kami lakukan dengan sukacita. Karena sejak menginjakkan kaki di Mesir, kami sudah ajarkan bahwa KMA ibarat keluarga kami sendiri. Ia adalah ayah dan ibu kami di Mesir. Membimbing dan melindungi kami selama merantau di negeri orang. Tidak terdengar satu rumah anak Aceh yang tidak ada beras atau gula kecuali langsung didatangi oleh teungku lain dengan bantuan seadanya —apalagi sekali-kali KMA juga meminjami kami uang untuk naik haji— Oleh karena itu, tidak ada yang tersinggung kalau sewaktu-waktu Bang Azman atau Tgk. Rusli Hasbi memanggil dan menasehati kami. Kami malah bersyukur, karena masih ada yang mau meluruskan jalan kami. Itu pertanda kepedulian mereka terhadap kami.

Acara ultah el-Asyi yang pertama itu berjalan dengan khidmat, sukses dan meriah. Khidmat karena ia diawali dengan membaca Al-Quran dan doa bersama. Sukses karena semua acara —seperti talkshow tentang dunia penulisan, lomba cerdas-cermat dan lain-lain— mendapat sambutan penuh dari seluruh anggota. Acara ini juga meriah, karena diakhiri dengan lagu bersama “Mars el-Asyi” oleh semua anggota.

Era tahun sembilan puluhan adalah era awal munculnya berbagai buletin kemahasiswaan dan kekeluargaan di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Buletin seperti Terobosan, Forum, el-Asyi, Fokus dan lain-lain bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebagian terus exsist hingga kini dan sebagian lainnya “Lâ yamûtu fîha walâ yahya” (hidup segan mati tak mau).

El-Asyi termasuk buletin yang masih eksis walau mungkin harus berjalan dengan tertatih-tatih. Buletin yang mulanya lahir dari torehan pena teungku-teungku Aceh di papan pengumuman Rumoh Ujong ini, kini telah memasuki umurnya yang ke 18 tahun. El-Asyi telah menjelma bak pemuda tampan atau gadis cantik yang menuju gerbang kedewasaan. Dipimpin oleh anak-anak muda yang penuh semangat, berloyalitas dan dedikasi tinggi. Design layoutnya pun jauh lebih baik dibanding zaman penulis menjabat selaku Redaktur Pelaksana el-Asyi era 92-93. Rubrik yang ditawarkan juga telah lebih beragam dan menarik.

Dulu hanya ada Rubrik Analisa Politik Terkini asuhan penulis, Rubrik Kamus Kata-kata Kuno Aceh-Arab-Inggris asuhan Tgk. Iqbal NU yang cukup menggelitik, dan ada Rubrik Sastra asuhan Tgk. Teuku Azhar Ibrahim dan Tgk. Tamlikha (Icha Azzura -nama samaran) yang selalu dinanti-nanti pembaca dengan kisah bersambung “Panglima Hantom Manoe.” Lucunya, bahkan sempat ada kawan yang mencoba merayu Tgk. Azhar untuk menceritakan kepadanya cerita tersebut sebelum dicetak di el-Asyi.

Adapun rubrik utama yang diisi oleh Pemimpin Redaksi Teuku Azhar selalu menengahkan berita terkini dalam KMA atau Mesir. Sementara Rubrik Kolom sengaja kita sediakan untuk ajang latihan menulis anggota KMA, sehingga rubrik ini WAJIB diisi oleh setiap anggota KMA secara bergiliran. Di samping demi menumbuhkan rasa memiliki, juga untuk menghindari kendala tidak cetak disebabkan kekurangan bahan tulisan.

Begitulah el-Asyi, lahir dan dibesarkan oleh para pendahulu kita mahasiswa Aceh di Kairo dengan segala keterbatasan yang ada kala itu. Terutama Keterbatasan dana dan teknologi. Namun itu tidak memupuskan semangat mereka untuk menghadirkan el-Asyi ke hadapan pembaca tepat waktu dan penuh mutu. Para anggota selalu bertanya-tanya kapan el-Asyi akan terbit. Meski terbit hanya beberapa lembar, namun tak kunjung habis diulas berhari-hari dan mengisi pembicaraan mereka ketika itu. Mungkin karena —kala itu— kami hidup di era jahiliyah internet. Yang ada hanya koran/majalah mesir dan dunia Arab. Tak heran kadang jika ada anak baru yang membawa koran/majalah dari Aceh/tanah air, bisa-bisa jadi “perang saudara” berebut koran tsb.

Kehadiran el-Asyi bukan hanya dinanti oleh anggota KMA, tapi juga sebagian teman non-Aceh di Kairo. Cekman (Tgk. Sulaiman Asyi), dan kak Niar, serta warga Aceh lainnya di Mekkah, pun sangat senang menanti kehadiran el-Asyi. Begitu pula halnya dengan Tgk. Bukhari di India. Jika tidak ada yang ke sana, kami pun mengirimkan el-Asyi via pos kepada mereka.

Sejatinya, menulis adalah bagian yang tak terpisahkan dari seorang penuntut ilmu. Imam Syafi’i mengibaratkan ilmu seperti buruan dan menulis adalah talinya. Suatu ilmu yang kita dapatkan secara membaca, talaqqi atau sima’i, dan tidak kita tulis, ibarat mendapatkan seekor binatang buruan lalu tidak kita ikat dengan tali yang kuat. Dipastikan ia akan lepas kembali.

Sejarah membuktikan, para ulama besar yang telah wafat ribuan tahun lalu, namun afkar dan pendapat mereka masih terus dinukilkan orang, seolah-olah mereka masih hidup bersama kita hari ini, dikarenakan karya tulisnya. Sebaliknya para alim ulama yang tidak kurang keilmuannya, namun tidak menulis, maka ilmunya pun ikut terkubur bersama dengannya.

Kecakapan menulis harus ditumbuh-kembangkan dengan banyak latihan, dan tidak malu akan kesalahan dalam belajar. Bukankah Albert Einstein —bapak ilmu fisika modern abad duapuluh— pernah berkata: “Banyak orang yang tidak tahu kalau keberhasilanku hari ini, pada dasarnya adalah hasil dari lebih seratus kali percobaan yang gagal….”

Karenanya, mari kita mulai menulis. Apalagi, —tidak seperti dulu— hari ini hampir tidak ada rumah mahasiswa Aceh yang tidak memiliki komputer, atau koneksi internet. Mari gunakan kemudahan fasilitas tersebut untuk pengembangan kualitas diri dan umat.€Sebab —wallaahi—, keberadaan kita di lembah Nil hari ini, telah dicatat Allah sejak di lauh al-mahfudh dan mengandung konsekuensi amanah besar yang harus dipikul. Musuh Islam telah lama berkumpul menggempur kita dengan berbagai senjata; pena, media dan bahkan nuklir. Masihkah kita menjadi penonton?? Teungku.., KITA ADALAH GENERASI PILIHAN. Jika tidak siap, sebenarnya kita mungkin sudah salah naik kapal terbang. Meski pada awalnya apa yang kita tulis —mungkin— masih dalam kategori brôh-brôh putôh.., tapi yakinlah dengan tamrin dan ketekunan, suatu hari tulisan Anda akan menjadi untaian kata-kata mutiara yang indah dan bermakna. Why not?

Teungku.., andai saja el-Asyi terbit teratur sekali setiap bulan, mestinya pada tahun ini ia telah memasuki lebih dari 200 edisi. Namun ketahuilah, untuk mencapai edisi ke 100 di usia yang ke 18 tahun pun sudah merupakan satu prestasi besar yang patut kita banggakan. Karenanya, ketika kru el-Asyi Tgk. Hilal —via telpon selulernya— meminta partisipasiku mengisi edisi ke 100 ini, akupun tak kuasa untuk mengatakan “La..ah…”

Sanah Hilwah ya Habib Alby…
Sanah Hilwah ya el-Asyi…..

Hay-6, 16 maret ‘09

Oleh: Mutiara Fahmi Razali
*Penulis adalah mantan Redaktur Pelaksana Buletin el-Asyi tahun 1992-1993, dan mahasiswa Program S3 di Fakultas Darul Ulum, Cairo University.
Read More......