Ahlan wa Sahlan

Ahlan wa Sahlan Keu Ban Mandum Aneuk Nanggroe Ban Sigom Donya

Sunday, December 6, 2009

Sanah Hilwah ya el-Asyi

Sabtu malam, 14 Maret lalu, telepon selulerku berdering keras. Sebuah nomor asing muncul di layar. “Mungkin ini nomor sesat,” pikirku dalam hati. Biasanya aku paling malas menerima telepon yang enggak jelas, tapi kali ini langsung kuangkat.

“Aalu..!” kataku dengan eksen yang sedikit dimesirkan, karena aku yakin biasanya yang sering salah nomor mesti orang Arab badui.
“Assalamu’alaikum ustaz..” ujar sebuah suara di ujung sana.
“Wa’alaikum salam…, siapa ya?” ujarku.
“Saya Hilal ustaz, dari buletin el-Asyi. Saya ingin membicarakan masalah persiapan ulang tahun el-Asyi yang ke delapan belas dan penerbitan edisi yang ke seratus….”


“El-Asyi..!, delapan belas tahun..!!, edisi ke seratus...!!!” pikirku dalam hati. Rasanya tidak dapat aku mempercayai kata-kata itu. Musy ma’uul...

Kenanganku pun terus melayang ke suatu musim dingin sekitar awal tahun 1992, tepatnya di sebuah syaqqah di Jalan Imam Hasan Makmun, Hay Tsamin —depan Nadi Ahly sekarang— “Rumoh Ujong,” begitu kami memanggilnya dulu. Karena letaknya di paling ujung jalan, tidak ada apapun lagi setelahnya kecuali padang pasir (bak cerapei weuk Sen, bak jen toh aneuk).

Rumoh Ujong adalah sebuah rumah pinjaman Syaikh Abdul Ghani Asyi kepada penuntut-penuntut ilmu asal Aceh di negeri Kinanah ini. Di sana aku berkumpul dengan sekitar duapuluhan anggota KMA lainnya. Semuanya sibuk mempersiapkan sebuah hajatan besar, merayakan ulang tahun buletin el-Asyi yang pertama. Ibarat bayi yang baru genap berumur satu tahun, maka semua anggota keluarga menyayanginya.

Semua turut aktif membantu. Kak Syarifah Rif’ah, Rusydah, Nilam Sari, semuanya telah hadir sejak pagi untuk menunjukkan keahlian masing dalam memasak. Tgk. Hamid, Tgk. Fachrul dan Tgk. Masykur pun sibuk mempersiapkan berbagai acara yang akan ditampilkan, Tgk. Azman selaku ketua KMA memantau semuanya untuk memastikan acara bisa berjalan sukses. Sementara itu kami para pion, selalu stanby, siap selalu mendampingi para senior untuk melaksanakan berbagai macam tugas, dari belanja (yang berarti harus siap turun ke medan juang; jalan kaki melintas padang sabana; menenteng barang-barang; hingga bersiap dengan batu ditangan, sebagai persiapan kalau-kalau dikejar anjing Arab pungo), hingga tugas-tugas mulia dan rutin lain yang sudah pasti menanti, seperti cuci piring dan belangong di akhir setiap acara.

Semua itu kami lakukan dengan sukacita. Karena sejak menginjakkan kaki di Mesir, kami sudah ajarkan bahwa KMA ibarat keluarga kami sendiri. Ia adalah ayah dan ibu kami di Mesir. Membimbing dan melindungi kami selama merantau di negeri orang. Tidak terdengar satu rumah anak Aceh yang tidak ada beras atau gula kecuali langsung didatangi oleh teungku lain dengan bantuan seadanya —apalagi sekali-kali KMA juga meminjami kami uang untuk naik haji— Oleh karena itu, tidak ada yang tersinggung kalau sewaktu-waktu Bang Azman atau Tgk. Rusli Hasbi memanggil dan menasehati kami. Kami malah bersyukur, karena masih ada yang mau meluruskan jalan kami. Itu pertanda kepedulian mereka terhadap kami.

Acara ultah el-Asyi yang pertama itu berjalan dengan khidmat, sukses dan meriah. Khidmat karena ia diawali dengan membaca Al-Quran dan doa bersama. Sukses karena semua acara —seperti talkshow tentang dunia penulisan, lomba cerdas-cermat dan lain-lain— mendapat sambutan penuh dari seluruh anggota. Acara ini juga meriah, karena diakhiri dengan lagu bersama “Mars el-Asyi” oleh semua anggota.

Era tahun sembilan puluhan adalah era awal munculnya berbagai buletin kemahasiswaan dan kekeluargaan di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Buletin seperti Terobosan, Forum, el-Asyi, Fokus dan lain-lain bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebagian terus exsist hingga kini dan sebagian lainnya “Lâ yamûtu fîha walâ yahya” (hidup segan mati tak mau).

El-Asyi termasuk buletin yang masih eksis walau mungkin harus berjalan dengan tertatih-tatih. Buletin yang mulanya lahir dari torehan pena teungku-teungku Aceh di papan pengumuman Rumoh Ujong ini, kini telah memasuki umurnya yang ke 18 tahun. El-Asyi telah menjelma bak pemuda tampan atau gadis cantik yang menuju gerbang kedewasaan. Dipimpin oleh anak-anak muda yang penuh semangat, berloyalitas dan dedikasi tinggi. Design layoutnya pun jauh lebih baik dibanding zaman penulis menjabat selaku Redaktur Pelaksana el-Asyi era 92-93. Rubrik yang ditawarkan juga telah lebih beragam dan menarik.

Dulu hanya ada Rubrik Analisa Politik Terkini asuhan penulis, Rubrik Kamus Kata-kata Kuno Aceh-Arab-Inggris asuhan Tgk. Iqbal NU yang cukup menggelitik, dan ada Rubrik Sastra asuhan Tgk. Teuku Azhar Ibrahim dan Tgk. Tamlikha (Icha Azzura -nama samaran) yang selalu dinanti-nanti pembaca dengan kisah bersambung “Panglima Hantom Manoe.” Lucunya, bahkan sempat ada kawan yang mencoba merayu Tgk. Azhar untuk menceritakan kepadanya cerita tersebut sebelum dicetak di el-Asyi.

Adapun rubrik utama yang diisi oleh Pemimpin Redaksi Teuku Azhar selalu menengahkan berita terkini dalam KMA atau Mesir. Sementara Rubrik Kolom sengaja kita sediakan untuk ajang latihan menulis anggota KMA, sehingga rubrik ini WAJIB diisi oleh setiap anggota KMA secara bergiliran. Di samping demi menumbuhkan rasa memiliki, juga untuk menghindari kendala tidak cetak disebabkan kekurangan bahan tulisan.

Begitulah el-Asyi, lahir dan dibesarkan oleh para pendahulu kita mahasiswa Aceh di Kairo dengan segala keterbatasan yang ada kala itu. Terutama Keterbatasan dana dan teknologi. Namun itu tidak memupuskan semangat mereka untuk menghadirkan el-Asyi ke hadapan pembaca tepat waktu dan penuh mutu. Para anggota selalu bertanya-tanya kapan el-Asyi akan terbit. Meski terbit hanya beberapa lembar, namun tak kunjung habis diulas berhari-hari dan mengisi pembicaraan mereka ketika itu. Mungkin karena —kala itu— kami hidup di era jahiliyah internet. Yang ada hanya koran/majalah mesir dan dunia Arab. Tak heran kadang jika ada anak baru yang membawa koran/majalah dari Aceh/tanah air, bisa-bisa jadi “perang saudara” berebut koran tsb.

Kehadiran el-Asyi bukan hanya dinanti oleh anggota KMA, tapi juga sebagian teman non-Aceh di Kairo. Cekman (Tgk. Sulaiman Asyi), dan kak Niar, serta warga Aceh lainnya di Mekkah, pun sangat senang menanti kehadiran el-Asyi. Begitu pula halnya dengan Tgk. Bukhari di India. Jika tidak ada yang ke sana, kami pun mengirimkan el-Asyi via pos kepada mereka.

Sejatinya, menulis adalah bagian yang tak terpisahkan dari seorang penuntut ilmu. Imam Syafi’i mengibaratkan ilmu seperti buruan dan menulis adalah talinya. Suatu ilmu yang kita dapatkan secara membaca, talaqqi atau sima’i, dan tidak kita tulis, ibarat mendapatkan seekor binatang buruan lalu tidak kita ikat dengan tali yang kuat. Dipastikan ia akan lepas kembali.

Sejarah membuktikan, para ulama besar yang telah wafat ribuan tahun lalu, namun afkar dan pendapat mereka masih terus dinukilkan orang, seolah-olah mereka masih hidup bersama kita hari ini, dikarenakan karya tulisnya. Sebaliknya para alim ulama yang tidak kurang keilmuannya, namun tidak menulis, maka ilmunya pun ikut terkubur bersama dengannya.

Kecakapan menulis harus ditumbuh-kembangkan dengan banyak latihan, dan tidak malu akan kesalahan dalam belajar. Bukankah Albert Einstein —bapak ilmu fisika modern abad duapuluh— pernah berkata: “Banyak orang yang tidak tahu kalau keberhasilanku hari ini, pada dasarnya adalah hasil dari lebih seratus kali percobaan yang gagal….”

Karenanya, mari kita mulai menulis. Apalagi, —tidak seperti dulu— hari ini hampir tidak ada rumah mahasiswa Aceh yang tidak memiliki komputer, atau koneksi internet. Mari gunakan kemudahan fasilitas tersebut untuk pengembangan kualitas diri dan umat.€Sebab —wallaahi—, keberadaan kita di lembah Nil hari ini, telah dicatat Allah sejak di lauh al-mahfudh dan mengandung konsekuensi amanah besar yang harus dipikul. Musuh Islam telah lama berkumpul menggempur kita dengan berbagai senjata; pena, media dan bahkan nuklir. Masihkah kita menjadi penonton?? Teungku.., KITA ADALAH GENERASI PILIHAN. Jika tidak siap, sebenarnya kita mungkin sudah salah naik kapal terbang. Meski pada awalnya apa yang kita tulis —mungkin— masih dalam kategori brôh-brôh putôh.., tapi yakinlah dengan tamrin dan ketekunan, suatu hari tulisan Anda akan menjadi untaian kata-kata mutiara yang indah dan bermakna. Why not?

Teungku.., andai saja el-Asyi terbit teratur sekali setiap bulan, mestinya pada tahun ini ia telah memasuki lebih dari 200 edisi. Namun ketahuilah, untuk mencapai edisi ke 100 di usia yang ke 18 tahun pun sudah merupakan satu prestasi besar yang patut kita banggakan. Karenanya, ketika kru el-Asyi Tgk. Hilal —via telpon selulernya— meminta partisipasiku mengisi edisi ke 100 ini, akupun tak kuasa untuk mengatakan “La..ah…”

Sanah Hilwah ya Habib Alby…
Sanah Hilwah ya el-Asyi…..

Hay-6, 16 maret ‘09

Oleh: Mutiara Fahmi Razali
*Penulis adalah mantan Redaktur Pelaksana Buletin el-Asyi tahun 1992-1993, dan mahasiswa Program S3 di Fakultas Darul Ulum, Cairo University.

1 comment:

  1. Masya Allah baroe tenging lom El Asyi...

    Alhamdulillah mantoeng udeep. Treep ka...

    Tgk Fachrul manteung muda, tgk Mutiara dan Luqman so...syabab.

    Thanks

    Alumni Pembaca El Asyi

    ReplyDelete