Ahlan wa Sahlan

Ahlan wa Sahlan Keu Ban Mandum Aneuk Nanggroe Ban Sigom Donya

Monday, December 7, 2009

Tunggu Aku 1 Juz Lagi

“Hallo…Assalamualaikum!" Akhirnya aku dapat giliran juga setelah mengantri berjam-jam dari jam 7 pagi. Cape deh..!
"Allow..tapa ni..?” suara bocah yang menyahut. Mmm..Si Adek.
“Ini siapa..?” kangen juga sama dia.
“Aku Bukan tapa-tapa…un..tukmuuu..!” Haha..ha, malah nyanyi!
"Dek..Ibu mana sayang… ini mbak Alyana, kasih handphonenya ama Ibu sayang..! Aku sudah sangat menghafal kebisaaannya yang akan merebut handphone, mengharuskan dirinya yang menjawab panggilan.
"Hallo ..Assalamu alaikum, Yana ya..?!"
"Iya..ini Ibu kan?! Gimana kabarnya Ibuku?"
"Alhamdulillah..semua baik-baik aja, kamu gimana kabarnya sayang..? Kapan pulangnya? Tahun ini sudah selesaikan…? Ibu sudah kangen nih…" Suara itu sungguh membuat aku ingin segara pulang ke tanah kelahiranku. Solo.




"Iya Bu, Yana juga kangen, alhamdulilah di sini baik-baik aja. Insyaallah Ibu doakan saja tahun ini bisa pulang, atau..aku daftar S2 dulu boleh Bu?" Walau ku tau jawabannya 'ga boleh' tapi ku tanya juga.

"Yah..mbok ya pulang dulu…! Nikah dulu, setelah itu mau sekolah lagi juga ga apa-apa, kamu ini gimana sih..? ga kepikiran apa?" Tuh kan! Itu lagi-itu lagi, yuuh..Ibu siapa juga yang mau nikah..ffiuhh!

"Alyana sayang…kakak-kakakmu udah pada nikah semua, kamu mau jadi perawan tua?? Ibu banyak dengar dari orang-orang, katanya banyak anak perempuan yang terlena dengan pendidikan, dan ga kepikiran untuk nikah. Akhirnya sendirian deh..!" Aduuh…Ibuku sayang Ibuku malang…jadi pengen ketawa aku mendengarkan kekhawatirannya ini.

"Ibu gimana sih..pendidikan kok dibilang 'terlena'? emangnya dunia maya? Yana Bukannya ga kepikirin sama sekali, tapi belom aja Buk, ntar juga datang waktunya kok Ibu. Don’t worry be happy Buk! Walau ku tahu Ibu tak paham.

"Sekarang gini aja deh Buk, ini Yana telpon mau minta doa, insyaallah mau ujian pertengahan Mei nanti. Doanya yang nderes ya Buk ya…! Soalnya ini ujian akhir, please ya Bu..!” Jengah juga aku mendengar support keluargaku tentang masalah ini.

"Ini Babamu mau ngomong..". deg! Baba oh Baba…orang yang paling kusegani sejagat raya setelah Allah dan Rasulnya, he..he begitulah kira-kira.

"Baba apa kabar?"
"Sehat..sehat, kamu bagaimana?" Staycool…suara bassnya membuatku ga bisa banyak berkutik.
"Alhamdulillah baik Ba..!"
"Tahun depan kamu pulang kan? Jadi langsung pulang aja, kalau mau S2 di Mesir boleh, tapi nanti kita bicarakan di rumah. Oh ya! Kebetulan anak temen Baba ada yang baru pulang dari Tunisia, sudah selesai S2 di sana." Hah? Aku menarik leherku beberapa centi ke belakang. Maksudnya..??

"Trus…?" Terpaksa aku menggigit bibir sembari alis yang terbentuk piramid, serasa tak kuasa aku mendengarkan kelanjutannya.

"Yah..kalau kamunya belom punya calon, kan bisa Baba jodohkan sama anak itu. Udah 30 juz lho!"

Ampuuun.. apa-apaan sih? Mau 40 juz juga ga ngaruh. Kudengar suara cekikikan kakak-kakakku di seberang sana. Ih dasar! Dikerjain lagi deh! Ingin rasanya kututup telpon ini. Tapi ya..mau gimana lagi, jarang- jarang aku menelpon.

“Hallo Cinta…! Pasti Mbak Joanna. Terbayangku akan gurauannya.
“Heh neng..kacian deh lu! Udah terima aja, ngapa?!” Lagian kamu tuh ga ada yang mau ato kamunya yang milih-milih sih?” masa’ sih orang cantik kayak adekku ini ga ada yang minat..?” Yah, seperti biasa, dia pasti akan menggodaku.

“Astaghfirullah…bête deh gueee..! Apa coba? Emangnya tamat S1 tuh udah tua banget ya??” sungutku. Mendingan segera kuakhiri percakapan ini. Sebelum aku pingsan gara-gara kesal.

Hiruk-pikuk suasana jalan raya membuatku ingin cepat-cepat sampai di istanaku. Penat! Sungguh hari ini benar-benar penat. Hadir muhadharah di saat–saat ujian di ambang pintu seperti ini adalah kegemaran para pelajar asing. Hampir rata-rata melakukan taktik ini, termasuk aku. Tapi itu dulu, ketika aku belum menganggap penting muhadharah. Bulan Mei pun seakan berlari mendekati pertengahannya.

Dan hari ini aku menghadiri tiga mata kuliah sekaligus, sampai sore boo…! Dan itu lumrah kulakoni sejak aku mendiami Asrama Malikah, yang terletak di daerah Tahrier. Dan itu lumayan jauh dari kampus. Karena aku akan merasa sangat merugi jika pergiku tanpa manfaat. Itulah aku sekarang.

Akhirnya bus yang kutunggu muncul juga. Yes! Hari ini nasib berpihak padaku, aku dapat tempat duduk. Assoy..sambil menikmati hamparan warna-warni makhluk hidup bernama ‘bunga’ di musim semi. “Ala ganbak ya rais!” Ada yang sudah sampai tujuan ternyata. Sesaat pemandangan yang sedari tadi berjalan terhenti. Tepat di depanku berdiri dengan anggunnya mesjid Ar-Rahmah, tidak ketinggalan taman kecil penuh rona violet yang mekar serempak sebagai pelengkap riasannya, yang membuat mesjid ini begitu indah. But.. wait a moment! Aku melihat sosok yang pernah kutahu, bahkan kukenal sedang bersungguh membaca Al-Quran, emm..seperti manghafal. Walau aku tak pasti. Hmm..mungkin hanya mirip saja. Karena sosok itu sudah dalam bilangan tahun tak terlihat olehku. Kurasa beliau sudah balik ke Indonesia.
Dan bus pun kembali melaju menjauhkan pandanganku pada taman mesjid dan yang ada di seberang taman itu. Ups! Sory ya Allah..kali ini Yana silap. He..he.. walau ku tau Allah Maha Tahu.

***

“Alyana… masih belom tido lagi?” Azizah, come from Singapura. Sahabatku semenjak aku tinggal di asrama Malikah. Teman-teman yang lain Bukannya tidak ada, tapi karena dominan dari luar Asia membuatku hanya berteman sekedar saja. Pegal juga lidahku harus berbicara bahasa Arab selalu.
“Hai what’s wrong? Macam ada gunung ja kat pundak you tuh…” Kutarik badanku untuk sedikit tegak menghadapnya. Sambil meletakkan kembali foto keluargaku yang sedari tadi kupegang.

“Your mom suruh you kawen tak?” Ntah untuk apa kutanyakan hal ini padanya.

“What??!” Azizah mengeluarkan ekspresi tak percaya dengan pendengarannya.

“Aha…I knew sekaranglah…your mom support you kawen ya?! Its ok baby” Aku hanya mengangkat alisku.

“Hai disuroh kawen..kawen je lah..!apa yang susah sangat? yang you risau sangat ni apa pasal? Bukankah you ni comel, pretty..pendidikan ok, smart pula, apa lagi?” Daya godanya..Ga penting!

“Yeee…. Menurut loh? Please deh! You ingatkan kawen tuh tak susah ke? Boleh ke kita nak kawen dengan sesiapa je? Tak boleh ke kite nak taruh harapan sikit pada orang yang benar-benar kita suka? Or something like that…?” Yah, inilah yang ingin kusampaikan pada mereka—keturunan keluargaku—yang menaruh perhatian besar tentang pernikahan. Dan terbiasa dengan acara nikah muda. Dan anti dengan julukan perawan tua. Nikah itu tidak segampang membalikkan telapak tangan uey!, tinggal simsalabim saja. Kita lagi cari orang yang tepat di hati ni..! Azizah menatapku penuh misterius, sambil mengerutkan kening.

“Agaknya you rindukan seseorang yang bergelar Ustazd Aceh, satu-satunya lelaki yang you pernah ceritakan pada I, masa I tanya perception you tentang lelaki” Aku meliriknya tanpa ekpresi.

Azizah meninggalkanku dan beranjak ke kamarnya sambil senyum-senyum... ffiuh...bodo ah! Mendingam konsentrasi dengan ujianku. Ini akhir, target harus tepat sasaran.

Aku kembali mengadu..
Bab demi bab kehidupan Kau tuliskan untukku
Dan telah aku lakoni..
Aku memalu..
Karena bab kali ini tidaklah besar
Mungkin hanya sebesar serpihan debu,
Dibandingkan fase hilangku dari naungan-Mu
Namun tetaplah Engkau tempat para nyawa berkeluh..
Tolonglah aku Rabbi!
Tidak mampu aku mendustai hati..
Rasa cinta setelah cintaku pada-Mu seolah sudah hadir
Aku hanya seonggok kayu kering
Yang selalu menanti uluran kasih-Mu
Agar Engkau bimbing aku ke jalan-Mu

***
Kusudahi sujud malamku dengan doa-doa pertolongan, tak lupa doa mohon kemudahan dalam ujian, untuk kemudian berkutat pada diktat yang akan kutempuri besok. Untuk mumtaz aku urung. Sekedar mempertahankan jayyid saja sudah cukup. Better than down! Tapi tetap saja dengan perasaan yang harap-harap cemas. Semoga! Tawakkal yang kusisakan sebagai persembahan hamba yang yakin akan takdir Ilahi, yang telah dituliskan jauh sebelum zaman azali.

***
Bus kesayanganku datang tepat waktu. Tak jauh berlaju bus kembali berhenti, ada penumpang baru. Saat kugeser sedikit tempatku, ups! Mata kami beradu aku terpaku, satu, dua, tiga detik, stop Alyana! Astaghfirullah…sory ya Allah..kali ga sadar. Cepat-cepat aku membuang pandangan keluar jendela bus. Sambil menatap benda-benda yang bergerak menjauh ke belakang. Setan mulai berbisik; “Lirik saja sedikit, kalau penasaran! Untuk memastikan siapa? Sekejap saja..! Mungkin Ustazd Aceh itu.” Ga perlu Yana sayang..staycool aja..!

“Ujian?” Ala maak! Kaget benar aku mendengar suara itu.
“Hah? Oh! iya” Aku gugup otomatis.
“Hadits ya?!” Tanyanya lagi setelah sedikit melirik ke buku yang sedang kupegang.
“Iya!” Bingung.
“Tahun terakhir ni?” Dia belum selesai menyapa rupanya.
“I..iya.”
“Maan najah ya..!” Masih dalam keadaan menunduk.
“Iya”
“Saya duluan..”
“Iya” Yuuh..iya, iya, iya doank! Ta’bir dong Alyana, takallami…aku juga bingung, kenapa aku bersikap begini? Ada-ada aja. Baru ditanya gitu udah gugupnya minta ampun. Tapi be-te-we kok beliau ngeh aku tahun akhir? Akh, ga penting!

Tapi kok masih kenal? Bisa jadi. Karena memang aku dulu adalah cewek terheboh lagi cuek di antara konco-koncoku. Dan kami adalah consumer Syatiby Center alias murid Syatiby sekaligus pengurus WIHDAH. Dan Ustazd Aceh itu pengajar di Syatiby Center. So, frekuensi pertemuannya seringlah. Ustazd tak pernah menatap kami kecuali sesekali ketika mangajar, ghad al bashrnya euy..! Aku yang paling menghebohkan diri, selaku fans beratnya. Sampai anak-anak hafal tabiatku yang mewajibkan diri membuatkan minum kalau pembimbingnya beliau. Gokil banget waktu itu. Sungguh malu jika mengingat masa jahiliyahku. Karena Tuhanku belum menyapa kala itu. Pernah terjadi hal paling memalukan dan merasa tak sedap hati.

“Heh..Yan calon suami idaman loe, kaya’ gimana sih tipenya?” Lila menanyakan hal yang tak minat untuk kubahas.
“Masih anak kecil, ngapain nanya gituan?” Aku sewot.
“Kan boleh aja Yan, buat persiapan?” Dara ikutan nimbrung.
“Ok, ehem..yang biasa aja!” semua yang dengar mengerutkan kening. Tak ada jawaban, karena memang tak ada dalam fikiran.
“Iya..biasa gimana Mbak? Biasa pegang duit, biasa jadi bos, atau biasa kerja rodi?” Mereka benar-benar tak puas.
“Mm...ga gimana-gimana, ya..biasa aja…yang biasa hafal Al-Quran mungkin. Atau bisa ngasih gue mahar 30 juz hafalan Al-Quran aja, udah!” Jawabku sambil tertawa lepas.

“HAHA..HA, sumpe loe?! Muke loe jauu..! Emang cukup?” Semua ikutan tertawa.
“Ya..ya beserta hadiah-hadiah lainnya, paling ga hadiah rumah dan mobil ajalah…mahar tetap 30 juz aja, haha..ha!” Tawa kembali bergelak. Seketika semua diam, seakan malaikat yang lewat. Hah, Ustazd Aceh! Sekilas Ustazd melihat ke arah kami. Mati gue, beliau dengar ga ya omongan kami tadi? Malu kalau beliau mendengar. Mana kami tertawa ngakak lagi!

Orang seperti aku ingin suami 30 juz? Lelucon! Sebenarnya Ustazd idolaku ini adalah tipe yang kusuka. Bersahaja dalam karismatiknya, dewasa, dan..manis. Ah, terlalu tidak mungkin Ustazd Aceh itu akan terfikir untuk menyukai gadis luar Aceh, begitu yang ku dengar dari teman-temanku. Lagian aku juga mungkin hanya terobsesi saja waktu itu. Atau hanya sekedar ngefans, atau perasaan girang sesaat. Walau aku tau bahwa kemungkinan yang kubuat-buat ini adalah bohong. Jelas-jelas aku tak begitu saja lupa tentang beliau yang padahal tak pernah ada moment penting selain belajar-mengajar. Ntahlah, aku tak berani meraba lebih jauh lagi.

(Ya Allah sudahkah Engkau maafkan kekhilafanku di masa silam. Dimana aku belum begitu peduli pada-Mu. Sampai akhirnya aku ditempatkan pada taraf kedewasaan untuk kemudian mengais cinta dan merasa betapa indahnya bila dekat dengan-Mu. Tetaplah bersamaku, karena aku merasa masih rapuh. Dan kembali melemah adalah keniscayaanku. Maka naungilah aku dengan sayang-Mu).

***
Segala yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Hari ini adalah hari wisuda para najihin dan najihaat. Dan aku dalam kesyukuran yang tak terperi. Allah megizinkanku untuk pulang ke tanah air tahun ini. Dengan predikat jayyid jiddan. Alhamdulillah. “Tahniah Alyana..” Azizah memberiku selamat sambil tersenyum tulus.

“Ya..sama-sama, selamat juga cinta..!” Terasa ada yang mengharu-biru. Inilah saat terakhir aku dan Azizah bersama, setelah ukhwah terjalin begitu erat. Dia telah banyak membimbingku dan aku pun banyak belajar darinya tentang dunia muslimah sejati. Hingga akhirnya aku menjadi lebih baik. Tiba-tiba Kak Aji—se-almamaterku—menghampiri.

“Alyana, selamat ya!”
“Iya, syukran Kak.” Aku hanya tersenyum.
“Maaf sebelumnya, ini ada titipan dari dari temenku. Namanya Rafli” Kak Aji memberiku lipatan kertas. Berikut dengan penjelasannya, karena dia tahu aku tidak suka perihal seperti ini.

”Jangan marah dulu non! Dia teman aku, kita sama-sama S2 di Al-Azhar. Dia minta maaf, kalau kamunya ga suka. Tapi menurut aku surat lebih aslam daripada face to face! Iya kan?!” Panjang deh! Siapa juga yang marah.

“Ya..ya makasih ya!” Dan Kak Aji pun pergi. Sesudah melambaikan tangan pada empunya surat. Ustazd Aceh.

“Dengan tetap berlindung pada Allah… yang di tangan-Nyalah nasib manusia ada. Sebelum dan sesudahnya saya memohon maaf atas kelancangan saya mengirimi Alyana kertas ini. Lama saya mencari arti rasa yang ada. Dan akhirnya berkat hidayah Allah yang Maha Membolak-balikkan hati; saya berkeputusan untuk mencoba meraba. Dengan sedikit malu saya katakan bahwa… teringin saya meminang Alyana menjadi bidadari saya. Akan tetapi tipe suami yang Alyana idamkan belum selesai saya penuhi, maukah Yana menunggu saya 1 juz lagi?"

“Hah!! Mau..mau..mauuu…mau banget! Iya aku mau menunggu, jangankan 1 juz lagi, 29 juz pun kan kutunggu!” Hatiku berteriak tak karuan, tuk ungkapkan kesediaan. Tuhan…ikat kami dalam ridha-Mu.

Oleh; Bunga Alba*

3 comments:

  1. mantrap, lanjutkan buk "E"

    ReplyDelete
  2. terlalu bila harus ku menunggu,,,
    semoga akan tetap!

    ReplyDelete
  3. mantap that... nyan kisah nyata???
    by Saidy

    ReplyDelete